Selasa, 20 Mei 2014

MEMECAT PENGEMIS



MEMECAT PENGEMIS
Selama ini, saya selalu menyediakan beberapa uang receh untuk berjaga-jaga kalau melewati pengemis atau ada pengemis yang menghampiri saya. Setiap pengemis lewat pasti kuberi sehingga persediaan receh di kantongku habis, barulah aku berhenti dan menggantinya dengan kata “maaf” kepada pengemis tersebut.
Sahabat saya Didin, punya cara lain. awalnya, saya merasa bahwa dia pelit karena saya tidak pernah melihatnya memberikan receh kepada pengemis. Padahal kalau di hitung gajinya lebih besar dari gajiku. Tapi setelah apa yang saya lihat sewaktu kami sama-sama berteduh kehujanan, anggapan saya itu ternyata salah.
 Seorang ibu setengah baya sambil mengendong anaknya menghampiri kami seraya menengadahkan tangan. Tangan saya yang sudah berancang-ancang mengeluarkan receh ternyata di tahannya, Didin mengeluarkan dua lembar uang dari sakunya, satu lembar seribu rupiah dan satu lembar seratus ribu rupiah. Si ibu tadi ternganga entah apa yang di pikirkan sambil memperhatikan dua lembar uang itu.
“ibu kalau saya kasih pilihan mau pilih yang mana, yang seribu atau yang sertus ribu?” Tanya Didin. Sudah tentu, siapa pun orangnya pasti akan memilih yang lebih besar. Termasuk ibu tadi serta menunjuk uang seratus ribu.
“kalau ibu pilih yang seribu, tidak usah di kembalikan tapi kalau ibu pilih yang seratus ribu, saya tidak memberikannya secara cuma-cuma. Ibu harus mengembalikannya dalam waktu yang telah kita tentukan, bagaimana?” terang Didin. Agak lama waktu yang di butuhkan ibu tadi untuk menjawab, terlihat ia masih agak bingung dengan maksud sahabat saya tersebut. “maksudnya yang seratus ribu itu hanya pinjaman?”
“betul bu, itu hanya pinjaman. Kalau saya berikan seribu ini untuk ibu, paling lama satu jam pasti sudah habis. Tapi saya akan meminjamkan uang seratus ribu ini untuk ibu agar esok hari dan seterusnya tak perlu minta-minta lagi,” katanya. Selanjutnya, Didin menjelaskan lebih baik memberikan pinjaman uang untuk modal seseorang agar terlepas dari kebiasaannya meminta-minta.
Seperti ibu itu yang ternyata memiliki kemampuan membuat gado-gado. Di rumahnya, ia masih memiliki beberapa perangkat untuk berjualan gado-gado, seperti cobek, piring, gelas, meja, dan lain-lain.
Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami bersama-sama kerumah ibu tadi yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berteduh. Hujan sudah reda, dan kami mendapati lingkungan rumahnya yang lumayan ramai, cocok untuk berdagang gado-gado, pikirku.
Didin sering menyempatkan diri untuk mengunjungi penjual gado-gado itu. Selain untuk mengisi perutnya, dengan tetap membayar, ia juga berkesempatan memberikan masukan bagi kelancaran usaha ibu penjual gado-gado itu.
Belum tiga bulan dari waktu yang di sepakati untuk mengembalikan uang pinjaman itu, dua hari lalu saat didin kembali mengunjungi penjual gado-gado, dengan air mata yang tak bisa tertahan, ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjaman itu ke didin. “terima kasih nak, kamu telah mengangkat ibu menjadi orang yang lebih terhormat.”
Didin mengaku selalu menitikkan air mata jika mendapati orang yang di bantuna sukses. Meski tak jarang, ia harus kehilangan uang itu karena orang yang di bantunya gagal atau tidak bertanggung jawab. Menurutnya, itu sudah resiko. Tapi setidaknya, setelah ibu penjual gado-gado itu mengembalikan uang pinjamannya berarti akan ada satu orang lagi yang bisa ia bantu, dan akan ada satu lagi yang berhenti meminta-minta.


NAMA  :  AHMAD RIFA’I
NIM       :  01314007
KELAS  :  B (semester 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar